oleh Aryavamsa Frengky
Pandemi yang hadir saat ini di Bumi tempat manusia hidup menjadi bagian penting untuk merenung bahwa kehidupan manusia itu rentan hanya dalam menghadapi seekor virus yang berukuran kurang lebih 1 nano meter atau 1 per 1 juta diameter rambut kita saja manusia sudah sulit menjalani hidup normal. Prediksi dan argumentasi menjadi marak dan kebiasaan menyalahkan pihak lain sudah menjadi bagian cerita yang menghiasi situasi pandemi saat ini. Beruntunglah para pakar dan peneliti yang bijak, mereka tidak terjerat dalam persepsi sempit dan tidak memberi komentar tanpa data dan penelitian.
Kompas 3 November 2020 dalam salah satu rubriknya menuliskan perihal menarik yang menjelaskan bahwa pandemi hadir dikarenakan ulah manusia sendiri dalam menjalankan kehidupan. Kebiasaan manusia yang berlebihan dalam berkehidupan khususnya dalam mengkonsumsi makanan terutama makanan berdaging memberikan dampak yang signifikan terhadap terjadinya pandemi saat ini atau di saat berikutnya.
Dituliskan dalam artikel tersebut bahwa usia penyebaran pandemi makin tahun makin lebih cepat sejak sejarah mencatat bagaimana epidemi flu spanyol yang dimulai pada tahun 1918, kemudian disusul berikutnya infeksi saluran pernapasan akut (SARS) pada tahun 2003, kemudian wabah mematikan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012, yang selanjutnya 2019 COVID-19 menjadi virus berikutnya yang juga memakan korban hingga jutaan jiwa dan menyebar lebih dari 215 negara di dunia. Jika kita hanya perhatikan pandemi untuk virus flu dan corona ini, tampak bahwa sejak 1918 ke 2019 terjadi pergerakan yang semakin cepat penyebaran virus mematikan ini terjadi di dalam kehidupan kita, atau dapat dikatakan mereka yang lahir di awal tahun 2000 telah mengalami 3 epidemi hingga pandemi virus dalam 1 fase kehidupannya, ini sungguh tragis dan tentu tidak menyenangkan jika kita lahir dengan gangguan virus yang mematikan ini.
Mengapa penyebaran virus mematikan ini semakin agresif? Dari manakah virus ini berasal? Kristian Andersen, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research Institute, Amerika Serikat, dalam publikasinya di jurnal Nature Medicine Maret, 2020 mengatakan bahwa virus COVID-19 adalah virus alami yang datang dari alam bukan virus rekayasa (Kompas, 3 November 2020). Virus ini bergerak ke kehidupan manusia ditularkan melalui hewan perantara seperti kelelawar. Rusaknya habitat para hewan-hewan liar ini dan juga perilaku konsumtif manusia yang berlebih serta rendahnya kepedulian manusia terhadap pelestarian alam liar memberikan dampak virus-virus alami ini tersebar ke tubuh manusia dan mereka pun (para virus) beradaptasi dengan inangnya yaitu manusia sehingga lahirlah virus-virus mematikan yang dapat berparasit ke tubuh manusia.
Dunia saat ini telah menghabiskan biaya sebesar kurang lebih 234 triliun rupiah untuk menghadapi pandemi COVID-19, dan jika manusia tidak merubah pola perilaku dalam berkehidupannya maka sangat mudah kehidupan manusia akan terserang oleh virus-virus mematikan lainnya yang masih banyak ragam jenisnya yang masih tersebar di alam liar saat ini, hal ini disampaikan dalam Laporan Panel Ilmiah untuk Keanekaragaman Hayati PBB(IPBES) yang di rilis pada tanggal 29 Oktober 2020.
Mari kita jaga kehidupan kita dengan terus peduli dengan lingkungan, kurangi memakan daging, perbanyak pelestarian hutan, serta terus menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan.